ReportaseIslami – Sahabat Islam, Dikala istri sedang
kehabisan uang lalu sang istri mengambil uang di dompet suaminya tanpa
sepengtahuan atau izin suaminya. Bagaimana hukumnya ? Berikut ini ulasannya
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa
Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang
mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa
sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
“Ambillah dari hartanya apa
yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364;
Muslim, no. 1714)
Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil
dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara
‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)
Perlu dipahami bahwa sifat yang disebut Hindun pada
suaminya Abu Sufyan, bahwa suaminya itu pelit, bukan berarti suaminya memang
orang yang pelit pada siapa saja. Bisa jadi ia bersikap seperti itu pada
keluarganya, namun ada barangkali yang lebih membutuhkan sehingga ia dahulukan.
Jadi, kurang tepat kalau menganggap Abu Sufyan adalah orang yang pelit secara
mutlak. Demikian tutur Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah
Al-‘Allam, 8: 159.
Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas:
1- Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya nafkah
seorang suami pada istrinya. Bahkan hal ini menjadi ijma’ (kesepakatan para
ulama).
2- Hadits di atas juga menunjukkan seorang ayah wajib
memberi nafkah pada anaknya. Kewajiban nafkah ini ada selama anak tersebut: (a)
masih kecil, (2) baligh namun dalam keadaan sakit atau masih belum mampu
mencari nafkah. Jika anak tersebut sudah baligh dan sudah mampu dalam mencari
nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah.
Namun hadits Hindun ini menunjukkan bahwa kewajiban
nafkah seorang ayah adalah secara mutlak selama anak-anak itu dalam keadaan
fakir. Ia wajib memberi nafkah pada mereka, tidak memandang di sini apakah
mereka telah baligh atau sudah dalam keadaan kuat (mencari nafkah).
3- Jika ada suami yang punya kewajiban memberi nafkah
pada istri lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri boleh mengambil
hartanya tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah pada istri itu wajib.
Para ulama juga mengglobalkan hal ini, bukan hanya
perihal nafkah. Juga termasuk hal lainnya yang ada di situ kewajiban memberi,
namun tidak dipenuhi dengan baik.
Berarti hal ini tidak berlaku jika nafkah istri
terpenuhi dengan baik.
4- Besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti
apa, ini tergantung pada tempat dan waktu.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata,
“Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama
(baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat
(kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh
syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan
tempat, zaman, keadaan
suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al-Fatawa, 34: 83)
5- Kalau melihat dari pandangan ulama Hanafiyah, hadits
ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar besarnya nafkah adalah apa yang
dirasa cukup oleh istri. Karena dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya yang mencukupinya.
Namun yang paling bagus kita katakan bahwa besarnya
nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan istri, yaitu memandang dua belah pihak.
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath
Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).” (QS.
Al-Baqarah: 236).
Dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya
yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR.
Bukhari, no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan
dalam hal nafkah:
Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda
tergantung keadaan, tempat dan zaman.
Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang
yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
6- Jika istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari
harta suami (meskipun nantinya ia mengambil diam-diam), maka tidak boleh
menuntut untuk pisah (cerai). Jadi cerai bukanlah jalan keluar dari sulitnya
nafkah.
7- Jika seorang isteri mengadukan suaminya demi meminta
nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, itu tidak termasuk ghibah.
8- Boleh mendengar perkataan dari wanita bukan mahram
ketika ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam masalah hukum. Hal ini
dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan) dan tidak dengan suara yang
mendayu-dayu. Seperti misalnya, masih boleh menerima telepon dari pria selama
tidak ada godaan dan tidak dengan suara mendayu-dayu.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Hai isteri-isteri Nabi,
kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Sumber : rumaysho.com