ReportaseIslami – Sahabat Reportase, Mengerikannya
ritual berdarah muslim Syiah saat rayakan Asyura. Mereka mencambuk dirinya
sendiri dengan pisau berantai. Aksi melukai diri ini dianggap sebagai ibadah
mulia untuk mengenang kematian cucu dari Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali
dalam pertempuran Karbala pada 61 H.
Sejumlah muslim Syiah mencambuk dirinya sendiri dengan
pisau berantai selama memperingati Hari Asyura di Karbala, Irak, Senin (10/10).
Mereka menganggap aksi melukai diri ini sebagai ibadah mulia untuk mengenang
kematian cucu dari Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali dalam pertempuran Karbala
pada 61 H.
Mereka sedih atas kematian Husain saat itu sehingga
mereka memukul dada, menampar pipi, memukul bahu, mengiris-ngiris kepala mereka
dengan pedang sampai menumpakan darah. Sampai anak kecil pun mengiris
kepalanya. Wallahul musta'an.
Kenapa
Kelakuan Mereka Dikatakan Sesat?
Karena setiap perkara muhdats yang tidak pernah
dicontohkan dalam Islam, tentu saja sesat. Hal-hal semacam di atas jelas suatu
kemungkaran dan sudah dilarang oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena dalam Islam tidak boleh melakukan semacam itu baik karena
kematian seorang yang dianggap mulia atau kematian seorang yang syahid di jalan
Allah. Kita tahu bahwa di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak di
antara para sahabat yang mendapati syahid seperti Hamzah bin Abdul Muthollib
(paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi
Tholib, ‘Abdullah bin Rowahah. Namun tidak pernah di masa beliau melakukan
seperti yang dilakukan oleh Rafidhah. Law kaana khoiron, la-sabaqunaa ilaih,
seandainya perkara tersebut baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
lebih dahulu melakukannya.
Coba lihat pula bagaimana ketika Nabi Ya’qub ‘alaihis
salam tertimpa musibah dengan hilangnya Yusuf ‘alaihis salam, apakah beliau
sampai memukul-mukul dada? Apakah Nabi Ya’qub sampai menampar wajahnya sendiri?
Apakah sampai ingin menumpahkan darahnya sendiri dengan mengores-ngores badan?
Apakah sampai dijadikan ‘ied (perayaan) atau hari berduka seperti yang
dilakukan Rafidhah? Amalan yang dilakukan Rafidhah tidak lain hanyalah warisan
dari Jahiliyah, masa suram sebelum Islam. Islam dengan sangat jelas sudah
melarangnya.
Hadits yang Membicarakan Tentang Berduka yang Terlarang
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar
pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah.” (HR. Bukhari no.
1294 dan Muslim no. 103).
Namun lihatlah bagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah
di hari ‘Asyura. Yang mereka lakukan jelas bukan ajaran Islam. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam begitu pula para sahabatradhiyallahu ‘anhum tidak pernah
melakukannya. Mereka tidak pernah melakukannya ketika ada yang meninggal dunia.
Padahal wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih daripada kematian
Husain radhiyallahu ‘anhu.
Sedih Atas Kematian Husain …
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Setiap muslim seharusnya bersedih atas terbunuhnya
Husain radhiyallahu ‘anhu karena ia ialah sayyid-nya (penghulunya) kaum
muslimin, ulamanya para sahabat dan anak dari putri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu Fathimah yang merupakan puteri terbaik beliau. Husain ialah
seorang ahli ibadah, pemberani dan orang yang murah hati. Akan tetapi kesedihan
yang ada janganlah dipertontokan seperti yang dilakukan oleh Syi’ah dengan
tidak sabar dan bersedih yang semata-mata dibuat-buat dan dengan tujuan riya’
(cari pujian, tidak ikhlas). Padahal ‘Ali bin Abi Tholib lebih utama dari
Husain. ‘Ali pun mati terbunuh, namun ia tidak diperlakukan dengan dibuatkan
ma’tam (hari duka) sebagaimana hari kematian Husain. ‘Ali terbenuh pada hari
Jum’at ketika akan pergi shalat Shubuh pada hari ke-17 Ramadhan tahun 40 H.
Begitu pula ‘Utsman, ia lebih utama daripada ‘Ali bin
Abi Tholib menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. ‘Utsman terbunuh ketika ia
dikepung di rumahnya pada hari tasyriq dari bulan Dzulhijjah pada tahun 36 H.
Walaupun demikian, kematian ‘Utsman tidak dijadikan ma’tam(hari duka). Begitu
pula ‘Umar bin Al Khottob, ia lebih utama daripada ‘Utsman dan ‘Ali. Ia mati
terbunuh ketika ia sedang shalat Shubuh di mihrab ketika sedang membaca Al
Qur’an. Namun, tidak ada yang mengenang hari kematian beliau dengan ma’tam
(hari duka). Begitu pula Abu Bakar Ash Shiddiq, ia lebih utama daripada ‘Umar.
Kematiannya tidaklah dijadikanma’tam (hari duka).
Lebih daripada itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau ialah sayyid (penghulu) cucu Adam di dunia dan akhirat. Allah sudah
mencabut nyawa beliau sebagaimana para nabi sebelumnya juga mati. Namun tidak
ada pun yang menjadikan hari kematian beliau sebagaima’tam (hari kesedihan).
Kematian beliau tidaklah pernah dirayakan sebagaimana yang dirayakan pada
kematin Husain seperti yang dilakukan oleh Rafidhah (baca: Syi’ah) yang jahil.
Yang terbaik diucapkan ketika terjadi musibah semacam ini ialah sebagaimana
diriwayatkan dari ‘Ali bin Al Husain, dari kakeknya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
ما من مسلم يصاب بمصيبة فيتذكرها وإن تقادم عهدها فيحدث لها استرجاعا إلا أعطاه الله من الأجر مثل يوم أصيب بها
“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, lalu ia
mengenangnya dan mengucapkan kalimat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi
rooji’un) melainkan Allah akan memberinya pahala semisal hari ia tertimpa
musibah” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Demikian nukilan dari Ibnu
Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, 8: 221.
Demikian kesesatan Syi’ah pada hari ‘Asyura. Kematian
seseorang tidaklah dengan perayaan sesat seperti yang dilakukan oleh orang
Syi’ah. Moga Allah melindungi kita dari kesesatan Syi’ah.
Wallahul muwaffiq.
Sumber : muslim.or.id