Reportase Islami -
Sahabat Islam, Selama ini kita menganggap perkerjaan ini ialah kewajiban
seorang istri, namun Ternyata hal berikut ini ialah kewajiban suami. Simak
selengkapnya ya. Dan Jangan lupa dibagikan kepada suaminya.
"Kaum laki-laki itu ialah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa’ : 34)
Sahabat Islam, masih ada saja wanita yang tidak
mengerti betapa Islam meninggikan derajatnya, terutama dalam rumah tangga.
Islam menjadikan seorang wanita sebagai ratu untuk suaminya.
Meskipun seorang istri harus senantiasa mematuhi dan
membahagiakan suami -tugas yang terkesan berat- akan tetapi sebenarnya suami mempunyai
kewajiban yang luar biasa besar terhadap istrinya, inilah yang membuat suami mempunyai
hak penuh terhadap sang istri.
Hal-hal yang lazim dikatakan sebagai tugas keseharian
istri, dalam Islam sesungguhnya itu ialah kewajiban suami untuk memenuhinya.
Semisal berbelanja di pasar, menyediakan makanan, mencuci, berberes rumah, dll.
Bukan berarti istri tidak boleh melakukan, akan tetapi
hal tersebut bukanlah kewajiban istri, dengan demikian... Suami semestinya jauh
lebih menyayangi istri yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya
menjadi kewajiban suami tersebut.
Sayangnya, kita sering menemukan hal aneh dalam banyak
rumah tangga. Misalnya saja, suami menyerahkan gajinya kepada istri setiap
bulannya, setelah itu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari uang
gaji tersebut.
Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas
jadi hak istri. Dan yang paling celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir
tujuh keliling untuk mengatasinya. Bukankah ini sangat memberatkan istri?
Dalam Islam, suami lah yang mempunyai kewajiban untuk
menafkahkan istri bahkan ada yang mengatakan sampai pada level menyuapi makanan
ke mulut istri.
Lebih lengkapnya, mari kita simak langsung pendapat 5
Mazhab Fiqih tentang hal ini:
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu
mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya
tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
No 1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan :
Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah,
lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri tidak boleh
dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil
Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak
dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan
suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk
memasak makanan.
No 2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada
disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami mempunyai
keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun
tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami ialah pihak yang wajib
berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
No 3. Mazhab As-Syafi’i
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu
Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat
untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang
ditetapkan (dalam pernikahan) ialah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual
(istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
No 4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada
suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang
sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash
Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka
pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi
minum kuda atau memanen tanamannya.
No 5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini,
kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak
ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat
lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa
menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan
pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang
bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat
Yang Berbeda
Namun kalau kita membaca kitab Fiqih Kontemporer Dr.
Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini.
Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat di luar urusan
seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu,
mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu ialah imbal balik dari nafkah
yang diberikan suami kepada mereka.
Namun satu hal yang jangan dilupakan, beliau tetap
mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan
rumah tangga. Artinya, istri mendapat 'upah' materi di luar uang nafkah
kebutuhan bulanan.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti
oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada
istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan
rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan
uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Demikianlah betapa Islam meninggikan wanita dalam rumah
tangga, dan dengan demikian menjadi masuk akal ketika wanita dilaknat akibat
tidak memenuhi hasrat biologis suaminya, saking begitu besarnya kewajiban suami
dalam menafkahi istri.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah cinta dan
penghargaan antar pasutri dalam rumah tangga. Semoga kita semua mempunyai
keluarga yang sakinanh mawaddah warahmah . Aamiin
sumber : ummi-online.com