Ingatkah saat-saat masih sekolah dulu, dan Anda merasa bosan saat berada
dalam kelas, kemudian mencoret-coret buku tulis Anda? Kadang coretan
itu tak bermakna, karena hanya bentuk lingkaran bertumpuk, atau
garis-garis lurus yang tak beraturan. Maka, seringkali kita dimarahi
oleh orang tua karena dianggap mengotori buku saja.
Ternyata coret-coretan itu, yang dikenal dengan istilah doodle, punya
makna. Ya, biasanya, coretan Anda, akan menyerupai isi hati Anda. Jika
Anda sedang sensitif, maka coret-coretan itu akan banyak berbentuk
lingkaran, tanpa sudut, dan tebal di sana sini. Jika Anda berpikir
logis, biasanya doodles Anda akan berbentuk penuh siku, dan garis lurus.
Begitulah
yang diungkapkan oleh Laksmira Ratna Bayuardi, Dip.Child Psy.,MHA.
seorang psikolog anak yang juga mendalami graphology dan doodlogy. Ia
mengatakan bahwa, doodles adalah salah satu art therapy untuk
melatih kemampuan berpikir juga bertindak, seseorang. Melatih kemampuan
imajinasi, serta membantu seseorang untuk melihat suatu masalah dari
sisi yang berbeda. Dengan mengembangkan suatu gambar, sesorang juga
dilatih untuk menyelsaikan masalahnya dengan cara yang lebih
terstruktur. Luar biasa ya?
Jadi, doodles secara tidak langsung
juga dapat mengungkapkan suasana hati maupun pikiran orang tersebut,
yang sedang menggambar. Hal ini berlaku bagi orang dewasa, dan juga
anak-anak. pada gambar-gambar atau bentuk-bentuk tertentu bahkan dapat
menyenangkan dan menenangkan. Doodles juga efektif sebagai alat
komunikasi di samping kata-kata dan bahasa, inilah sebabnya doodles
bersifat mengobati atau menyembuhkan. Karena berbagai hal termasuk
permintaan tolong akan dapat terungkap, meski sang penggambar tak
menyadarinya.
Menurut Laksmira, yang dimaksud dengan melatih
menyelesaikan masalah adalah karena, menambahkan suatu bagian atau
mengubah sedikit saja garis pada doodlesnya secara berkesinambungan,
bahkan dapat mengubah sikap orang tersebut. Jadi, misalnya, Anda
belakangan ini kerap sensitif, doodles Anda biasanya otomatis akan
memperlihatkan hal itu.
Mengubah bentuk lingkaran dan garis-garis
tebal serta gambar yang terlalu besar, menjadi garis kaku, tipis dan
mengecilkan gambar, akan mengubah sikap Anda, lho. Inilah yang dinamakan
terapi doodle. Contoh lainnya adalah; jika biasanya Anda atau anak Anda
menggambar orang, perhatikan baik-baik, apakah seluruh bagian tubuh
yang detail seperti jari tangan, bola mata, digambar juga atau tidak?
Jika
yang digambar adalah; tangan yang dimasukkan ke dalam saku, atau mata
yang bulat kosong, tandanya si penggambar belum punya percaya diri yang
cukup. Begitu juga jika orang yang menggambar di bagian tertentu saja
dalam kertas, dan tidak memenuhi kertas tersebut. Ia adalah orang yang
cenderung introvert, dan lebih senang jika menikmati kesendiriannya.
Dalam
menggambar, biasanya juga kita akan memilih untuk menggunakan banyak
warna atau cukup satu warna saja. Nah, jika memilih untuk menggunakan
banya warna, menandakan semangatnya yang besar untuk mengeksplorasi
banyak hal baru. Apalagi jika gambarnya cukup besar, ini menunjukkan
rasa percaya diri dan keberaniannya untuk mengekspresikan diri pada
lingkungan luar sudah terbangun.
Ya, poin-poin di atas memang bisa
dijadikan acuan pendamping, namun bukan hal yang mutlak karena kita,
apalagi anak-anak, mampu berubah sesuai perkembangannya. Terapi gambar
atau doodles, menurut Laksmita, dapat dipergunakan untuk membantu
seorang anak, atau bahkan kita sendiri, berkembang lebih seimbang pada
sisi yang dibutuhkan.
Ajaib sekali ya, bahkan sampai ke
coret-coretan yang terlihat tidak bagus itu, memiliki makna mendalam
dari diri kita sendiri. Mungkin ini juga yang dimaksud dr. Tan Shot Yen
dalam bukunya yang mengatakan agar kita kembali ke cara-cara
tradisional. Tetaplah menggunakan keterampilan tubuh, jangan
menggantikannya dengan teknologi. Tetaplah menulis dan menggambar dengan
tangan, bukan mempermudahnya dengan komputer lalu beralasan agar hasil
lebih rapi.
Hal ini akan membuat kita melatih keterampilan motorik
halus, dan mengembalikan kesehatan kita, karena tidak jadi bergantung
pada teknologi. Bahkan bayi-bayi pun dilatih untuk bisa mengambil benda
kecil, meronce dan menggunakan penjepit, demi keterampilan motorik
halus, bukan? Lalu mengapa saat dewasa, kita melupakan hal itu, kemudian
tenggelam dalam kemudahan keyboard dan layar sentuh?
Jadi, jika
kini sedang merasa gundah, mencoret-coretlah. Doodling bisa kok
dilakukan tetap sambil menjaga lingkungan dan membatasi penggunaan
kertas. Caranya gunakanlah kertas bekas, atau daur ulang kertas. Satu
lagi, bagi para orangtua, jika menemukan anak-anak Anda mencoret-coret
di buku, jangan terburu-buru mengomeli. Perhatikan dulu doodles mereka.
Jangan-jangan ada hal yang tak bisa diungkapkan.
Ternyata coret-coretan itu, yang dikenal dengan istilah doodle, punya
makna. Ya, biasanya, coretan Anda, akan menyerupai isi hati Anda. Jika
Anda sedang sensitif, maka coret-coretan itu akan banyak berbentuk
lingkaran, tanpa sudut, dan tebal di sana sini. Jika Anda berpikir
logis, biasanya doodles Anda akan berbentuk penuh siku, dan garis lurus.
Begitulah
yang diungkapkan oleh Laksmira Ratna Bayuardi, Dip.Child Psy.,MHA.
seorang psikolog anak yang juga mendalami graphology dan doodlogy. Ia
mengatakan bahwa, doodles adalah salah satu art therapy untuk
melatih kemampuan berpikir juga bertindak, seseorang. Melatih kemampuan
imajinasi, serta membantu seseorang untuk melihat suatu masalah dari
sisi yang berbeda. Dengan mengembangkan suatu gambar, sesorang juga
dilatih untuk menyelsaikan masalahnya dengan cara yang lebih
terstruktur. Luar biasa ya?
Jadi, doodles secara tidak langsung
juga dapat mengungkapkan suasana hati maupun pikiran orang tersebut,
yang sedang menggambar. Hal ini berlaku bagi orang dewasa, dan juga
anak-anak. pada gambar-gambar atau bentuk-bentuk tertentu bahkan dapat
menyenangkan dan menenangkan. Doodles juga efektif sebagai alat
komunikasi di samping kata-kata dan bahasa, inilah sebabnya doodles
bersifat mengobati atau menyembuhkan. Karena berbagai hal termasuk
permintaan tolong akan dapat terungkap, meski sang penggambar tak
menyadarinya.
Menurut Laksmira, yang dimaksud dengan melatih
menyelesaikan masalah adalah karena, menambahkan suatu bagian atau
mengubah sedikit saja garis pada doodlesnya secara berkesinambungan,
bahkan dapat mengubah sikap orang tersebut. Jadi, misalnya, Anda
belakangan ini kerap sensitif, doodles Anda biasanya otomatis akan
memperlihatkan hal itu.
Mengubah bentuk lingkaran dan garis-garis
tebal serta gambar yang terlalu besar, menjadi garis kaku, tipis dan
mengecilkan gambar, akan mengubah sikap Anda, lho. Inilah yang dinamakan
terapi doodle. Contoh lainnya adalah; jika biasanya Anda atau anak Anda
menggambar orang, perhatikan baik-baik, apakah seluruh bagian tubuh
yang detail seperti jari tangan, bola mata, digambar juga atau tidak?
Jika
yang digambar adalah; tangan yang dimasukkan ke dalam saku, atau mata
yang bulat kosong, tandanya si penggambar belum punya percaya diri yang
cukup. Begitu juga jika orang yang menggambar di bagian tertentu saja
dalam kertas, dan tidak memenuhi kertas tersebut. Ia adalah orang yang
cenderung introvert, dan lebih senang jika menikmati kesendiriannya.
Dalam
menggambar, biasanya juga kita akan memilih untuk menggunakan banyak
warna atau cukup satu warna saja. Nah, jika memilih untuk menggunakan
banya warna, menandakan semangatnya yang besar untuk mengeksplorasi
banyak hal baru. Apalagi jika gambarnya cukup besar, ini menunjukkan
rasa percaya diri dan keberaniannya untuk mengekspresikan diri pada
lingkungan luar sudah terbangun.
Ya, poin-poin di atas memang bisa
dijadikan acuan pendamping, namun bukan hal yang mutlak karena kita,
apalagi anak-anak, mampu berubah sesuai perkembangannya. Terapi gambar
atau doodles, menurut Laksmita, dapat dipergunakan untuk membantu
seorang anak, atau bahkan kita sendiri, berkembang lebih seimbang pada
sisi yang dibutuhkan.
Ajaib sekali ya, bahkan sampai ke
coret-coretan yang terlihat tidak bagus itu, memiliki makna mendalam
dari diri kita sendiri. Mungkin ini juga yang dimaksud dr. Tan Shot Yen
dalam bukunya yang mengatakan agar kita kembali ke cara-cara
tradisional. Tetaplah menggunakan keterampilan tubuh, jangan
menggantikannya dengan teknologi. Tetaplah menulis dan menggambar dengan
tangan, bukan mempermudahnya dengan komputer lalu beralasan agar hasil
lebih rapi.
Hal ini akan membuat kita melatih keterampilan motorik
halus, dan mengembalikan kesehatan kita, karena tidak jadi bergantung
pada teknologi. Bahkan bayi-bayi pun dilatih untuk bisa mengambil benda
kecil, meronce dan menggunakan penjepit, demi keterampilan motorik
halus, bukan? Lalu mengapa saat dewasa, kita melupakan hal itu, kemudian
tenggelam dalam kemudahan keyboard dan layar sentuh?
Jadi, jika
kini sedang merasa gundah, mencoret-coretlah. Doodling bisa kok
dilakukan tetap sambil menjaga lingkungan dan membatasi penggunaan
kertas. Caranya gunakanlah kertas bekas, atau daur ulang kertas. Satu
lagi, bagi para orangtua, jika menemukan anak-anak Anda mencoret-coret
di buku, jangan terburu-buru mengomeli. Perhatikan dulu doodles mereka.
Jangan-jangan ada hal yang tak bisa diungkapkan.